Sabana I, Gunung Merbabu

Adinda Milaba
3 min readMar 24, 2023

--

23 Mei 2017, Selasa 20.50 WIB

Perjalanan dari puncak kembali ke Sabana I, Gunung Merbabu

Agak seram sebenarnya menulis di depan sebatang lilin di depan tenda sendirian seperti ini. Sementara empat kawan lainnya sudah lelap dalam mimpi dan sleeping bag masing-masing.

Barusan ada sepasang mata menyala mengintip hendak masuk ke shelter kami, entah apa tapi aku yakin itu sebangsa Sigung (Mydaus sp.), lalu buru-buru balik arah ketika melihat masih ada manusia terjaga di dalam. Rasanya aku harus bersyukur, pendakian kali ini tidak ditemani hujan. Meski sebagai gantinya harus tahan dengan angin yang dingin. Kemarau biasanya memang seperti ini, dan hujan agaknya terkadang terasa lebih hangat. Dan karena ini kemarau, maka jangan harap Rubus (Rubus sp.) yang berbuah. “Ini bukan musimnya mereka berbuah. Ku kasih tau aja Dind. Supaya kamu nggak kecewa.” Ujar Jepang (O.F), teman seperjalanan yang ‘ngongkosi’ perjalanan kali ini. Wajar saja karena pendakian ini memang sengaja dilakukan khusus untuk mengambil data skripsi yang bersangkutan. Lalu tidak ada cemilan sepanjang jalan ini. Pendakian yang tidak manis.

Ini perjalanan ke sekian kalinya versi mendaki gunung di tahun ini, setelah perjalanan ke Sindoro. Aku tidak pernah peduli meski aku tahu setelah turun dari sini kulit menjadi hitam. Apa aku peduli? Seperti aku tahu dengan perjalanan ini aku meninggalkan banyak hal: laporan praktikum teknik silvikultur (teksil), PJ Fisiologi Pohon, LPJ Way Kambas yang tak kunjung selesai, observasi silin yang tidak jelas, dan entah aku meninggalkan apa-apa lagi. Apa aku peduli?

Aku tahu ini terdengar bodoh, konyol, tidak logis. Tapi nyatanya aku di sini saat ini, kedinginan di depan tenda, memutuskan untuk tidak (belum) pusing dihadapan laporan praktikum. Dan dengan alasan apa pun, untuk saat ini aku berusaha tidak peduli pada ‘seharusnya bagaimana’ atau ‘seharusnya seperti apa’. Aku hanya peduli pada: Aku ingin seperti ini.

Dan, bukankah hidup tidak ada yang pasti?

Kita adalah Merapi (Api) dan Merbabu (Abu)

hanya bisa saling pandang dari jauh

tanpa berfikir untuk merengkuh

Kita memang berbeda dalam semua (Gie)

tidak punya keberanian untuk menduga hal yang sama.

Angin dingin mulai berhembus lagi, mencoba menerabas masuk dari celah-celah flysheet yang sudah kami setting serendah mungkin. Tidak apa, tetap terasa hangat di sini. Yang lain (waclong, kancil, badak, dan jepang) sudah lelap, mungkin lelah tarik ulur tali plot pengamatan Edelweis (Anaphalis sp.) dan masih harus ada yang memikul logistik persediaan masak dan shelter untuk manajemen empat hari di gunung. Ya, mahasiswa kehutanan tidak akan jauh dari ini: naik gunung sambil ambil data. Dan kali ini tidak bisa main-main, karena data yang diambil untuk skripsi.

Lalu berbicara tentang skripsi, aku berfikir untuk sesegera mungkin mengerjakannya. Tetapi hal ini selalu terbentur dengan praktikum-praktikum wajib yang memang belum ku selesaikan hingga semester (9) ini. Lalu skripsi menjadi terasa jauh, belum bisa disentuh. Aku (belum) peduli.

Gunung memang tempat paling indah untuk kabur sesaat dari kehidupan kota. Tidak heran di sini (Sabana I Gunung Merbabu) juga banyak tenda pendaki-pendaki yang lain, yang bermacam-macam. Ya, setiap orang punya standar masing-masing. Asal tidak merusak yang ada, dan tidak meninggalkan apa-apa, sebenarnya tidak masalah. Pada dasarnya manusia memang selalu ingin kembali, dan gunung adalah salah satu tempat yang masih seperti dulu, ketika tempat tinggal manusia belum banyak terjajah oleh modernitas dan polusi. Itu sebabnya banyak orang menganggap naik gunung sama dengan kembali ke alam. Munafik. Padahal jika manusia memang ingin hidup di alam, tinggalkan saja modernitas. Tetapi tidak bisa, nyatanya manusia lebih nyaman pada yang mudah.***

--

--

Adinda Milaba

Belajar kehutanan. Bekerja penelitian. Terkadang bisa menulis sajak (sepertinya).